Duka Manchester United
Manchester United, klub besar dengan sejarah gemilang di sepak bola Inggris dan Eropa, tengah berada dalam masa-masa sulit. Musim ini, performa Setan Merah jauh dari harapan. Hasil minor di berbagai kompetisi, inkonsistensi permainan, hingga tekanan yang semakin besar terhadap manajer dan para pemain membuat suasana di Old Trafford diliputi awan kelabu.

Rentetan kekalahan menyakitkan di liga, kegagalan melangkah jauh di kompetisi Eropa, serta masalah internal tim mempertegas bahwa Manchester United saat ini berada di titik kritis. Klub yang pernah mendominasi di bawah kepemimpinan Sir Alex Ferguson kini tampak kehilangan arah, baik di lapangan maupun di balik layar manajemen.
Para suporter, yang selama ini setia mendukung tim, mulai mengungkapkan rasa frustrasi. Spanduk protes, sorakan di tribun, hingga kampanye di media sosial menunjukkan bahwa kesabaran mereka mulai menipis. Banyak yang mempertanyakan visi jangka panjang klub, strategi transfer yang tidak konsisten, dan tidak adanya identitas permainan yang jelas.
Di tengah kondisi ini, beberapa pemain muda seperti Kobbie Mainoo dan Alejandro Garnacho memang memberi sedikit harapan. Namun, mereka masih membutuhkan pengalaman dan konsistensi yang belum bisa langsung diandalkan untuk mengangkat tim secara keseluruhan.
Erik ten Hag, sang manajer, terus berada dalam tekanan. Kritik tajam datang dari berbagai arah: dari legenda klub, pandit sepak bola, hingga mantan pemain. Ia dituntut segera membawa perubahan konkret, atau posisinya bisa saja digantikan jika hasil buruk terus berlanjut.
“Duka” Manchester United bukan hanya soal hasil di atas lapangan, tetapi juga menyangkut krisis identitas dan mentalitas. Klub ini membutuhkan lebih dari sekadar kemenangan — mereka membutuhkan arah baru yang mampu mengembalikan jati diri dan semangat juara yang dulu pernah menjadi ciri khas mereka.
Kini, publik hanya bisa menunggu: apakah Manchester United bisa bangkit dari keterpurukan ini, atau duka ini akan semakin dalam seiring berjalannya musim?